Blog Archive
-
▼
2012
(
18
)
-
▼
November
(
18
)
-
►
Nov 08
(
17
)
- Soekarno M. Noer
- Laila Sari
- Leily Sagita
- Mathias Muchus
- Sumbar Akan Buat Film Kepahlawanan Perjuangan Siti...
- Umar Ismail
- Pendiri Parfi
- “Syamsul Bahri” Hadiri Festival Siti Nurbaya
- Djamaludin Malik, Bapak Industri Film Indonesia
- PARFI Diharapkan Naungi Artis Film Indonesia
- Aa Gatot Brajamusti Terpilih Sebagai Ketum PB PARF...
- Ketua PARFI: Jangan Terpancing Film 'Innocence of ...
- Sejarah PARFI
- Persatuan Artis Film Indonesia
- Tokoh
- Kegiatan
- Galery
-
►
Nov 08
(
17
)
-
▼
November
(
18
)
Artikel
Written By ParfiSumbar on Senin, 12 November 2012 | 19.15
Soekarno M. Noer
Written By ParfiSumbar on Kamis, 08 November 2012 | 11.12
Soekarno M. Noer
|
||
---|---|---|
Lahir
|
13 September 1931 | |
Meninggal
|
26 Juli 1986 (umur 54) Indonesia |
|
Pekerjaan
|
Aktor | |
Tahun aktif
|
1960 - 1986 | |
Soekarno M. Noer (lahir di Jatinegara, Jakarta, 13 September 1931 – meninggal 26 Juli 1986 pada umur 54 tahun) yang bernama lain Soekarno M. Noor adalah seorang aktor asal Indonesia.
Asal usul
Soekarno M. Noer lahir dari pasangan Mohammad Noer dan Janimah asal Bonjol, Sumatera Barat.Ketika usia dua tahun, dia menjadi anak yatim.Setelah wafatnya ayah,
bersama ibu dan adiknya Soekarno pulang kampung ke Bonjol terus
berpindah ke Tebing Tinggi, Sumatera Utara.
Karier
Selama kariernya ia telah membintangi lebih dari 68 judul film
sebagai pemeran utama, sekitar 30 judul film sebagai pemeran figuran,
dan 20 judul drama. Pria Minangkabau ini tiga kali terpilih sebagai Aktor Terbaik dalam Festival Film Indonesia (Piala Citra), masing-masing dalam film Anakku Sajang (1960), Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1967), dan Kemelut Hidup (1979).
Dari pernikahannya dengan Lily Istiarti, ia memperoleh enam orang
anak yang beberapa di antaranya mengikuti jejaknya sebagai aktor,
termasuk Tino Karno, Rano Karno, dan Suti Karno. Selain itu juga diikuti oleh adiknya Ismet M. Noer yang juga menjadi aktor di tahun 1970an.
Organisasi
- Ketua I PB Parfi (1972-1974)
- Ketua Umum PB Parfi, dua periode (1974-1978)
Laila Sari
Emak Laila Artis Serba Bisa Yang Terus Berjuang Di Usia Senja
Laila Sari | |
---|---|
Lahir
|
4 November 1935 (umur 76) Padang Panjang, Hindia Belanda |
Kebangsaan | Indonesia |
Pekerjaan
|
aktris |
Tahun aktif
|
1955 - sekarang |
Karier
Ia mengawali karier sebagai pemain sandiwara dan penyanyi. kariernya
dilanjutkan dengan bermain dalam film layar lebar. Ia juga bermain dalam
sejumlah sinetron, ketika film layar lebar mengalami kemunduran.
Kehidupan Pribadi
Selama tiga zaman atau enam dekade lebih, Laila Sari telah
berkecimpung di panggung hiburan Tanah Air. Namun, nenek berusia 76
tahun itu kini kondisi hidupnya amatlah memprihatinkan.Belum lama ini Detikhot menyambangi Emak Laila, begitu sapaan
akrabnya, di rumahnya yang sederhana di Tangkiwood, Jakarta Barat.
Daerah itu dulu memang dikenal sebagai penghasil artis berbakat di
eranya. Sebut saja Aminah Cendrakasih dan (alm) Bing Slamet.
Untuk menuju rumah artis serba bisa itu, harus melalui gang-gang
sempit di tengah padatnya pasar dan rumah penduduk yang lebarnya tak
lebih dari dua kali lebar setir motor. Akibatnya, saat berpapasan dengan
motor lain, salah satunya harus berhenti dan mengalah.Pemandangan memprihatinkan pun tergambar jelas setibanya di sana.
Rumah Laila tampak tak terawat, cat temboknya sudah memudar serta ubin
lantainya kusam. Asbes atap rumahnya pun di beberapa sudut terlihat
kecokelatan terkena rembesan air hujan.
Perempuan kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat 4 November 1935
itu dengan ramah menyambut kedatangan Detikhot. "Mari, masuk ke rumah
emak. Maaf ya rumah emak begini adanya, kotor. Silakan duduk!" sambut
pemilik nama asli Nurlaila itu.
Laila yang mengenakan kerudung putih itu pun mulai menceritakan
kesehariannya saat ini. Di dalam rumah tersebut ia mengaku tinggal
bersama tujuh orang anggota keluarga yang masih jadi tanggungannya.
"Aku sekarang apa-apa sendiri. Aku di sini ada 7 orang dan 8 sama
aku. Aku jadi kakek, nenek, bapak dan jadi ibu di rumah ini. Sekarang
tugas aku berjuang mencari uang untuk mereka," papar bintang film
'Kembang Katjang', 'Perantaian 13', 'Konde Tjioda', 'Burung Merpati',
'Dinamika', 'Pertiwi' dan 'Peristiwa 10 Nopember' itu.
"Mereka itu keponakan, saudara dan anak dari cucu aku. Cucu aku
meninggal dan meninggalkan satu anak. Jadi aku yang rawat. Ada anak aku
juga, walaupun aku sih nggak pernah melahirkan, tapi aku udah menganggap
dia kayak anak sendiri," sambungnya merinci.
"Aku kalau sudah batuk memang payah sekali. Suka nggak tahan saking
sakitnya. Kalau kondisi aku lagi nggak fit dan batuk-batuk bisa sampai
pingsan, kayak waktu itu aku pernah. Beginilah namanya sudah tua,"
katanya sambil mengurut dadanya.
Filmografi
- Dinamika (1955)
- Peristiwa 10 November (1956)
- Singa Betina dari Marunda (1971)
- Wadjah Seorang Laki-Laki (1971)
- Warung Pojok (1977)
- Pulau Putri (1977)
- Inem Nyonya Besar (1977)
- Tuan Besar (1977)
- Sinyo Adi (1977)
- Kembang Semusim (1980)
- Juara Cilik (1980)
- Ketika Cinta Harus Memilih (1981)
- Halimun (1982)
- Ke Ujung Dunia (1983)
- Tante Garang (1983)
- Kelainan Cinta (1983)
- Perempuan Kedua (1990)
- Lupus IV (1990)
- Amrin Membolos (1996)
- Anda Puas, Saya Loyo (2008)
- Cinlok (2008)
- Anak Ajaib (2008)
- Hantu Tanah Kusir (2010)
Leily Sagita
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Leily Sagita | |
---|---|
Nama lahir | Zurleily Sagita |
Nama lain | Leily Sagita |
Lahir | 19 Desember 1952 (umur 59) Lubuk Alung, Indonesia |
Pekerjaan | aktris |
Filmografi
- Sama Gilanya
- Perawan Disarang Sindikat
- Kesempatan Dalam Kesempitan
- Sama Sama Senang
- Tarzan Penunggu Harta Karun
- Perempuan Bergairah
- Pendawa Lima (1983)
- Gantian Dong (1985)
- Merangkul Langit (1986)
- Jodoh Boleh Diatur (1988)
- Kuntilanak 2 (2007)
- Mejeng Cinta (2011)
Sinetron
- Misteri Nini Pelet
- Istana Paris
- Camelia
- Perkawinan Pilihan
- Pondok Indah 3
- Anakku Terlahir Kembali
- Doaku Harapanku 1
- Doaku Harapanku 2
- Doa Membawa Berkah 2
- Makan Nggak Makan Ngumpul
- Harga Diri 1 & 2
- Tersanjung 1 s/d 6
- Adilkah
- Tangisan Anak Tiri
- Hikmah 1
- Jangan Berhenti Mencintaiku
- Putri yang Terbuang
- Istri Yang Terbuang
- Naila
- Hikayah
- Menuju SurgaMU
- Dia Bukan Cinderella
- Inayah
- Miranda
- Langit dan Bumi
- Titip Rindu
- Sejuta Cinta Marshanda
- Anugerah
Mathias Muchus
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.
Mathias Muchus | ||
---|---|---|
Lahir | 15 Februari 1957 (umur 55) Pagar Alam, Indonesia |
|
Pekerjaan | aktor | |
Pasangan | Mira Lesmana | |
Di Jakarta, ia melanjutkan sekolah pada Jurusan Teater di Institut Kesenian Jakarta hingga selesai. Saat masih kuliah ia telah banyak terlibat dalam seni peran di panggung yang diadakan oleh almamaternya. Bakat aktingnya ditemukan oleh Penulis Script Tatiek Maliyati yang saat itu sedang membantu suaminya sutradara Wahyu Sihombing membuat sinetron "Losmen" di TVRI pada awal 1980an. Tatiek W Maliyati yang juga dosen pengajar di IKJ merekomendasikannya bermain dalam sinetron tersebut. Di sana Mathias Muchus beradu akting dengan para artis senior seperti Mieke Wijaya, Mang Udel, dan juga penyanyi populer Dewi Yul. Sinetron tersebut juga ikut mempopulerkan nama artis Eeng Saptahadi dan Ida Leman.
Bekal kepopulerannya di layar kaca ini, kemudian menjadi modal kuat Mathias Muchus dalam berakting di layar lebar. Berbagai sutradara kawakan pun melibatkannya dalam film-film garapan mereka. Sejak itu nama Mathias Muchus seolah tak terbendung kepopulerannya sebagai aktor layar lebar di Indonesia. Puncak prestasinya adalah meraih beberapa kali penghargaan aktor terbaik Festival Film Indonesia (FFI), disamping beberapa kali menjadi nominasi aktor terbaik FFI.
Selain terkenal dengan perannya sebagai Tarjo dalam sinetron "Losmen" di TVRI pada tahun 1980-an itu, dia pernah meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia pada tahun 1988 sebagai aktor terbaik di film "Istana Kecantikan".
Seiring berkembangnya dunia sinetron di pertelevisian nasional Indonesia, Mathias Muchus pun kembali banyak terlibat di dalamnya baik sebagai aktor pemeran utama maupun pemeran pembantu. Tercatat beberapa kali menjadi nominator dalam ajang penghargaan yang diadakan khusus untuk sinema elektronik ini.
Mathias Muchus menikah dengan Mira Lesmana, produser film Indonesia yang merupakan putri dari tokoh Jazz Indonesia Jack Lesmana dan ipar dari Indra Lesmana, musikus jazz ternama di Indonesia.
Filmografi
Sebagai pemeran
- Roro Mendut (1982)
- Satria Bergitar (1984)
- Penginapan Bu Broto (1987)
- Pernikahan Dini (1987)
- Johny Indo (1987)
- Istana Kecantikan (1989)
- Kemesraan (1989)
- Petualangan Sherina (2000)
- Petualangan 100 Jam (2004)
- Fantasi (2004)
- Denias, Senandung di Atas Awan (2006)
- Summer Breeze (2008)
- Laskar Pelangi (2008)
- Queen Bee (2009)
- Sang Pemimpi (2009)
- Pengejar Angin (2011)
- Hari Ini Pasti Menang (2012)
Sebagai sutradara
- Rindu Purnama (2011)
Sinetron
- Losmen
- Masih Ada Kapal ke Padang
- Takdir
- Gatot Kaca
- Perawan Desa
- Legenda
- Ande Ande Lumut
- Hidayah
- Pintu Hidayah
- Intan
- Mawar
- Ratu
- Kejora dan Bintang
- Dia Jantung Hatiku
- Dia atau Diriku
- Cinta Salsabilla
Prestasi
- Aktor Terbaik FFI 1988 (Istana Kecantikan)
- Aktor Terpuji (Sinetron) Festival Film Bandung 2007
- Aktor Pendukung Terbaik FFI 2011 (Pengejar Angin)
- Nominasi Aktor Terbaik FFI 1986 (Beri Aku Waktu)
- Nominasi Aktor Terbaik FFI 1991 (Cintaku di Way Kambas)
- Nominasi Aktor Pendukung Terbaik FFI 2006 (Denias)
- Nominasi Aktor Terbaik Piala Vidia 2004 (Taxi Blues)
- Nominasi Aktor Terbaik Piala Vidia 2006 (Ayahku Astuti)
- Nominasi Aktor Terbaik Indonesian Movie Award 2010 (Queen Bee)
Sumbar Akan Buat Film Kepahlawanan Perjuangan Siti Manggopoh
Padang, (ANTARA) - Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Sumatera Barat,
menjadwalkan membuat film kepahlawanan terkait sosok perjuangan tokoh
perempuan asal Minangkabau yakni, Siti Manggopoh, pada masa melawan
penjajahan Belanda di Indonesia.
"Mengangkat sosok Siti Manggopoh, satu bentuk bukti kemandirian perjuangan perempuan Minangkabau dalam melawan penjajahan Belanda di Indonesia," kata Kepala Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Sumbar, James Hallyward, di Padang, Sabtu.
Siti Mangopoh, pejuang wanita dari desa kecil terpencil di Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia lahir bulan Mei 1880, dan dikenal melakukan perlawanan cukup gigih menentang terkait kebijakan ekonomi kaum penjajah Belanda melalui pajak uang pada tahun 1908.
Gerakan rakyat untuk menolak kebijakan itu, di Manggopoh dikenal sebutan "Perang Belasting".
Peraturan belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau. Sebab, tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau.
Peristiwa yang tidak bisa dilupakan penjajah saat itu, yakni gerakan dilakukan Siti Manggopoh pada tanggal 16 Juni 1908.
Belanda saat itu, cukup kewalahan menghadapi tokoh perempuan Minangkabau, sehingga meminta bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar menuju ke Nagari (desa) Manggopoh.
Menurut James, dipilihnya perjuangan Siti Manggopoh dalam pembuatan film kepahlawanan, guna mengakat derajat kaum perempuan, khusus Minangkabau dan umumnya di tanah air.
Dalam perjuangan menuju kemerdekaan, peran perempuan melawan kaum penjajahan cukup dominan, dan ini perlu diangkat ke permukaan supaya bisa diwariskan ke generasi mendatang, katanya.
"Kita memilih sosok pejuang perempuan (Siti Manggopoh), karena menunjukkan sosok seorang perempuan yang fenomenal dari Minangkabau, dan ini perlu diketahui generasi muda," katanya.
Rencana pembuatan film kepahlawan itu, juga menyikapi himbauan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar RI), kata James dan menambahkan, walaupun hingga kini instruksi secara tertulis belum diterima dari Menbudpar.
Rencana pembuatan film kepahlawanan perjuangan Siti Manggopoh bisa saja dimulai tahun depan, dan diharapkan biayanya masuk anggaran APBD tahun depan.
Sebelumnya Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, menghimbau seluruh gubernur di Indonesia untuk membuat film kepahlawanan di daerah masing-masing.
"Film kepahlawanan itu menekankan unsur pendidikan, dengan harapan cita-cita dalam pembangunan bangsa dan negara dapat diteruskan generasi mendatang," kata Menbudpar, Jero Wacik belum lama ini.
Sumber:www.antara-sumbar.com
"Mengangkat sosok Siti Manggopoh, satu bentuk bukti kemandirian perjuangan perempuan Minangkabau dalam melawan penjajahan Belanda di Indonesia," kata Kepala Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Sumbar, James Hallyward, di Padang, Sabtu.
Siti Mangopoh, pejuang wanita dari desa kecil terpencil di Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia lahir bulan Mei 1880, dan dikenal melakukan perlawanan cukup gigih menentang terkait kebijakan ekonomi kaum penjajah Belanda melalui pajak uang pada tahun 1908.
Gerakan rakyat untuk menolak kebijakan itu, di Manggopoh dikenal sebutan "Perang Belasting".
Peraturan belasting dianggap bertentangan dengan adat Minangkabau. Sebab, tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau.
Peristiwa yang tidak bisa dilupakan penjajah saat itu, yakni gerakan dilakukan Siti Manggopoh pada tanggal 16 Juni 1908.
Belanda saat itu, cukup kewalahan menghadapi tokoh perempuan Minangkabau, sehingga meminta bantuan kepada tentara Belanda yang berada di luar menuju ke Nagari (desa) Manggopoh.
Menurut James, dipilihnya perjuangan Siti Manggopoh dalam pembuatan film kepahlawanan, guna mengakat derajat kaum perempuan, khusus Minangkabau dan umumnya di tanah air.
Dalam perjuangan menuju kemerdekaan, peran perempuan melawan kaum penjajahan cukup dominan, dan ini perlu diangkat ke permukaan supaya bisa diwariskan ke generasi mendatang, katanya.
"Kita memilih sosok pejuang perempuan (Siti Manggopoh), karena menunjukkan sosok seorang perempuan yang fenomenal dari Minangkabau, dan ini perlu diketahui generasi muda," katanya.
Rencana pembuatan film kepahlawan itu, juga menyikapi himbauan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar RI), kata James dan menambahkan, walaupun hingga kini instruksi secara tertulis belum diterima dari Menbudpar.
Rencana pembuatan film kepahlawanan perjuangan Siti Manggopoh bisa saja dimulai tahun depan, dan diharapkan biayanya masuk anggaran APBD tahun depan.
Sebelumnya Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, menghimbau seluruh gubernur di Indonesia untuk membuat film kepahlawanan di daerah masing-masing.
"Film kepahlawanan itu menekankan unsur pendidikan, dengan harapan cita-cita dalam pembangunan bangsa dan negara dapat diteruskan generasi mendatang," kata Menbudpar, Jero Wacik belum lama ini.
Sumber:www.antara-sumbar.com
Umar Ismail
Sutradara, seniman, dramawan, budayawan, wartawan, politikus dan
penyair terkemuka ini selain dianggap sebagian pihak sebagai bapak
perfilman Indonesia, Usmar Ismail juga adalah sosok pejuang
multidimensional yang penuh warna. Karena jasa-jasanya bagi perfilman
Indonesia, nama Usmar Ismail (1921-1971) diabadikan dalam Pusat
Perfilman H. Usmar Ismail di Kuningan, Jakarta.
Haji Usmar Ismail Mangkuto Ameh dilahirkan pada tanggal 20 Maret 1920 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat dan wafat di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1971 karena pendarahan otak.
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di HIS Batusangkar, Sumatera Barat, Usmar Ismail yang merupakan anak bungsu dari enam bersaudara melanjutkan belajar ke MULO-B (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang tahun 1935-1939. Di sinilah Usmar Ismail mulai berkenalan dengan film dengan menjadi pecandu film-film yang diputar di bioskop Pondok, Padang.
Selepas belajar di MULO, pada tahun 1941 Usmar Ismail kemudian melanjutkan sekolahnya ke Yogyakarta. Ia masuk AMS-A II (Algemene Middelbare School) bagian A jurusan Klasik Barat.
Pada tahun 1953 Usmar Ismail mendapatkan beasiswa dari Rockfeller Foundation untuk mendalami sinematografi di Universitas California Los Angles (UCLA).
Usmar Ismail mendirikan sandiwara amatir "Maya" pada tahun 1944 bersama kakaknya Dr. Abu Hanifah dan sahabatnya Rosihan Anwar. Kelompok ini secara teratur mementaskan lakon di Gedung Komidi (sekarang Gedung Kesenian Jakarta) dan nantinya menjadi cikal bakal teater modern di Indonesia. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, bersama Syamsudin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, Usmar Ismail mendirikan surat kabar harian "Rakjat" dan aktif menjadi wartawan disana. Dikelompok sandiwara amatir ini Usmar Ismail bertemu Sonia Hermine Sanawi, gadis Betawi yang kemudian dinikahinya.
Kemudian Usmar Ismail menjadi ketua BPKI (Badan Permusyawaratan Kebudayaan Indonesia) dan SAI (Serikat Artis Indonesia) selama kurun waktu 1946-48, sekaligus ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia (1946-47). Selain itu Usmar Ismail juga memimpin majalah "Arena", harian "Patriot" dan majalah "Tentara" di Yogyakarta.
Pada masa ini Usmar Ismail sempat bergabung dengan TNI dan mendapat pangkat Mayor. Tahun 1948 Usmar Ismail ditangkap Belanda ketika sedang meliput perundingan antara RI-Belanda. Setelah beberapa lama mendekam dalam tahanan, Usmar Ismail dipekerjakan di South Pacific Cinema (dibawah tekanan Belanda) untuk membantu Andjar Asmara yang merupakan awal karirnya dalam perfilman.
Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) pada tahun 1950 dan sempat menyutradarai film pertamanya Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Yogya (1951) dan Dosa Tak Berampun (1951). Usmar Ismail mengklaim bahwa Darah dan Doa sebagai "Film Indonesia Pertama tentang Manusia Indonesia dalam Revolusi".
Darah dan Doa dikenal pula dengan nama The Long March yang mengisahkan perjalanan panjang pasukan Siliwangi. Usmar Ismail mendapat kritkk tajam dari film pertamanya yang kontroversial sebab para perwira Angkatan Darat yang menganggap film tersebut menampilkan tokoh tentara yang tidak tegas.
Pedjuang (1960) mendapatkan penghargaan aktor terbaik di Festival Film Moscow 1961 untuk Bambang Hermanto. Film Usmar Ismail adalah:
Untuk prestasinya di bidang film dan drama, Usmar Ismail mendapatkan penghargaan Wijayakusuma dari pemerintah Republik Indonesia pada 1962.
Pada tahun 1955, bersama Asrul Sani mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) sebagai lembaga pembinaan tenaga muda di bidang teater dan film. Usmar Ismail juga sempat menjadi anggota DPR kabinet Gotong Royong pada 1966-1969 yang juga menjadi pengurus PBNU.
Haji Usmar Ismail Mangkuto Ameh dilahirkan pada tanggal 20 Maret 1920 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat dan wafat di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1971 karena pendarahan otak.
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di HIS Batusangkar, Sumatera Barat, Usmar Ismail yang merupakan anak bungsu dari enam bersaudara melanjutkan belajar ke MULO-B (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang tahun 1935-1939. Di sinilah Usmar Ismail mulai berkenalan dengan film dengan menjadi pecandu film-film yang diputar di bioskop Pondok, Padang.
Selepas belajar di MULO, pada tahun 1941 Usmar Ismail kemudian melanjutkan sekolahnya ke Yogyakarta. Ia masuk AMS-A II (Algemene Middelbare School) bagian A jurusan Klasik Barat.
Pada tahun 1953 Usmar Ismail mendapatkan beasiswa dari Rockfeller Foundation untuk mendalami sinematografi di Universitas California Los Angles (UCLA).
Penyair dan Wartawan
Pada masa penjajahan Jepang (1942-45), kuliahnya terganggu dan hanya dengan berbekal izajah darurat Usmar Ismail pergi ke Jakarta dan tinggal bersama kakaknya Dr. Abu Hanifah. Usmar Ismail bekerja di Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) bagian kesusasteraan. Usmar Ismail banyak menulis sajak-sajak yang bernafaskan patriotisme dan cinta tanah air. Usmar Ismail sempat pula menulis naskah-naskah sandiwara radio yang kerap dimainkan di radio Hoso Kyoku, milik balatentara Jepang di Jakarta. Usmar Ismail merupakan generasi penutup yang menulis syair dengan gaya Pujangga Baru.Usmar Ismail mendirikan sandiwara amatir "Maya" pada tahun 1944 bersama kakaknya Dr. Abu Hanifah dan sahabatnya Rosihan Anwar. Kelompok ini secara teratur mementaskan lakon di Gedung Komidi (sekarang Gedung Kesenian Jakarta) dan nantinya menjadi cikal bakal teater modern di Indonesia. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, bersama Syamsudin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, Usmar Ismail mendirikan surat kabar harian "Rakjat" dan aktif menjadi wartawan disana. Dikelompok sandiwara amatir ini Usmar Ismail bertemu Sonia Hermine Sanawi, gadis Betawi yang kemudian dinikahinya.
Kemudian Usmar Ismail menjadi ketua BPKI (Badan Permusyawaratan Kebudayaan Indonesia) dan SAI (Serikat Artis Indonesia) selama kurun waktu 1946-48, sekaligus ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia (1946-47). Selain itu Usmar Ismail juga memimpin majalah "Arena", harian "Patriot" dan majalah "Tentara" di Yogyakarta.
Pada masa ini Usmar Ismail sempat bergabung dengan TNI dan mendapat pangkat Mayor. Tahun 1948 Usmar Ismail ditangkap Belanda ketika sedang meliput perundingan antara RI-Belanda. Setelah beberapa lama mendekam dalam tahanan, Usmar Ismail dipekerjakan di South Pacific Cinema (dibawah tekanan Belanda) untuk membantu Andjar Asmara yang merupakan awal karirnya dalam perfilman.
Darah dan Doa
Film Darah dan Doa dibuat pada tanggal 30 Maret 1950, tepat 10 hari setelah Perfini berdiri atau 80 tahun setelah film Loetoeng Kasaroeng yang merupakan film pertama yang dibuat di Hindia Belanda dan diputar secara perdana didepan presiden Soekarno. Akhirnya tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional oleh Dewan Film Nasional sejak tahun 1962.Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) pada tahun 1950 dan sempat menyutradarai film pertamanya Darah dan Doa (1950), Enam Djam di Yogya (1951) dan Dosa Tak Berampun (1951). Usmar Ismail mengklaim bahwa Darah dan Doa sebagai "Film Indonesia Pertama tentang Manusia Indonesia dalam Revolusi".
Darah dan Doa dikenal pula dengan nama The Long March yang mengisahkan perjalanan panjang pasukan Siliwangi. Usmar Ismail mendapat kritkk tajam dari film pertamanya yang kontroversial sebab para perwira Angkatan Darat yang menganggap film tersebut menampilkan tokoh tentara yang tidak tegas.
Karya Usmar Ismail
Kepulangan Usmar Ismail dari Amerika Serikat membuat kariernya di bidang film makin menanjak. Film - film yang disutradarainya antara lain: Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), Tamu Agung (1955), Tiga Dara (1956) yang mendapat sambutan besar di kalangan penonton. Bahkan Tamu Agung mendapat perhargaan sebagai film komedi terbaik dari Festival Film Asia sedangkan Lewat Djam Malam mendapat perhargaan sebagai film terbaik FPA pertama tahun 1955, dengan Usmar Ismail sebagai produsernya.Pedjuang (1960) mendapatkan penghargaan aktor terbaik di Festival Film Moscow 1961 untuk Bambang Hermanto. Film Usmar Ismail adalah:
- Puntung berasap (puisi)
- Sedih dan Gembira (1949)
- Harta Karun (1949)
- Tjitra (1949)
- Darah dan Doa (1950)
- Enam Djam di Yogya (1950)
- Dosa Tak Berampun (1951)
- Terimalah Laguku (1952)
- Kafedo (1953)
- Krisis (1953)
- Lewat Tengah Malam (1954)
- Tamu Agung (1955)
- Tiga Buronan (1957)
- Jenderal Kancil (1958)
- Asmara Dara (1959)
- Pedjuang (1960)
- Toha Pahlawan Bandung Selatan (1961)
- Anak Perawan Disarang Penjamun (1962)
- Liburan Seniman (1965)
Untuk prestasinya di bidang film dan drama, Usmar Ismail mendapatkan penghargaan Wijayakusuma dari pemerintah Republik Indonesia pada 1962.
Politikus
Selain di bidang seni dan kesusasteraan Usmar juga aktif di kancah politik. Pada tahun 1950 Usmar Ismail mendirikan Persatuan Artis Film Indonesia dan untuk mempromosikan film dan artis nasional Usmar Ismail mendirikan "Lesbumi" (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin) pada awal 1960 an yang bernaung dibawah Nahdatul Ulama (NU).Pada tahun 1955, bersama Asrul Sani mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) sebagai lembaga pembinaan tenaga muda di bidang teater dan film. Usmar Ismail juga sempat menjadi anggota DPR kabinet Gotong Royong pada 1966-1969 yang juga menjadi pengurus PBNU.
Reference:
Esiklopedia Umum untuk Pelajar, Usmar Ismail, PT. Icthiar Baru van Hoeve, Cetakan Pertama 2005
Esiklopedia Umum untuk Pelajar, Usmar Ismail, PT. Icthiar Baru van Hoeve, Cetakan Pertama 2005
Jurnal Republik, Taufik Rahzen, Sinema untuk Indonesia, 20 Maret 1950.
Republika,Alwi Shahab, Usmar Ismail Pelopor Festival Film Indonesia, Rubrik Warna, Tanggal 20 Desember 2005.
Taman Ismail Marzuki, Profil Maestro Indonesia: Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926-1975
Situs
Web Kepustakaan Nasional: Seri Tokoh Perfilman Indonesia, Perpustakaan
Nasional Indonesia dan Sinematek Indonesia. (www.pnri.go.id)
Sumber : www.pelaminanminang.com
Sumber : www.pelaminanminang.com
Pendiri Parfi
Wartawan, seniman, dan sastrawan ini sukses membidani dan mengasuh PARFI, sebuah organisasi profesi keartisan yang masih tetap eksis hingga saat ini. Bersama dua rekannya, Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail, nama Suryo Sumanto termasuk dalam daftar tokoh penting yang meletakkan pondasi perfilman nasional.
Suryo Sumanto lahir di Klaten, Jawa
Tengah, 15 September 1918. Meski hidup di zaman kolonial Belanda, putra
Raden Ngabehi Mangunsuromo ini mendapat kesempatan bekerja sebagai guru
Neutraalschool Delanggu, Verslaggeyex in die Bode di kota kelahirannya.
Selain mengajar, Suryo juga berkecimpung di dunia jurnalistik sebagai wartawan
lepas dengan menggunakan nama samaran Sumantri. Seorang kakak Suryo
bernama SK Trimurti juga dikenal sebagai tokoh pers nasional dan tokoh
politik.
Di sela waktunya yang tersita karena memburu berita, Suryo juga aktif
berorganisasi. Ia pernah menjabat sebagai ketua cabang Klaten serta
menjadi ketua Perda. Selain itu, sejak muda ia giat dalam sejumlah
perkumpulan seni, antara lain menjadi anggota Menteng 31 dan rombongan
seniman Merdeka yang turut aktif berpropaganda untuk mencapai
kemerdekaan.
Di tahun 40-an, setelah kekuasaan atas Indonesia berpindah ke tangan
Jepang, Suryo ditunjuk sebagai pemimpin pertunjukan keliling untuk Pusat
Kebudayaan yang menyajikan film, sandiwara, dan seni tari. Kemampuan
menulisnya mengantarkan Suryo ditempatkan di bagian pers dan propaganda
pada organisasi bentukan pemerintah Jepang, Pusat Tenaga Rakyat
(PUTERA). Suryo juga bertugas di Jawa Hokokai sebagai pembantu umum
latihan kebudayaan Sendenbu.
Pasca proklamasi kemerdekaan, ia kian giat berkiprah di berbagai
lembaga dan organisasi terlebih yang bergerak di bidang jurnalistisk dan
kesenian. Selain pernah tercatat sebagai anggota pimpinan Pers dan
Propaganda Jawatan V serta anggota berani dengan pangkat Kapten pada Ke Menterian
Pertahanan, ia juga pernah memangku jabatan sebagai Ketua Umum Badan
Permusyawaratan Sandiwara Indonesia (Bapersi), anggota redaksi majalah
tentara, Harian Patriot di Presiden RI
(1972-1978)Yogyakarta, anggota redaksi majalah kebudayaan Arena,
pemimpin perkumpulan sandiwara amatir Sekar Hati, anggota sandiwara
Ganesha, anggota direksi Lembaga Kebudayaan, dan wakil ketua seksi film
dan sandiwara.
Pada tahun 1950, Suryo bersama salah satu rekannya,Usmar Ismail
mendirikan Perfini (Persatuan Film Nasional Indonesia). Enam tahun
berselang, tepatnya 10 Maret 1956, berdirilah PARFI (Persatuan Artis film Indonesia)
yang didasari dengan semangat untuk memberikan kontribusi bagi bangsa
guna mewujudkan cita-cita memajukan Negara berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Organisasi tersebut pertama kali
diproklamirkan di Gedung SBKA Manggarai, Jakarta dengan sekretariat di
Jalan, Kramat V, Jakarta Pusat.
Lahirnya PARFI berawal dari vakumnya kegiatan SARI (Sarikat Artis
Indonesia) sejak pemerintah Jepang berkuasa di Indonesia. Kongres
pertama organisasi tempat para artis film bernaung itu akhirnya memilih
Suryo Sumanto sebagai Ketua Umum. Selanjutnya untuk melanjutkan roda
organisasi, Suryo dibantu para anggota yang terdiri dari Rendra Karno,
Kotot Sukardi, Basuki Effendi, Wildan Dja'far, Sofia Waldy, Deliana
Surawidjaja, Idrus Nawawi (Palembang), Eddy Saputra (Medan), Basuki
Zailani (Bandung), Ismail Saleh (Semarang), Abdul Gafur (Surabaya), dan
Subekto (Yogya).
Di masa itu, organisasi profesi keartisan yang diresmikan Ibu Negara Hj. Fatmawati
Soekarno itu merupakan satu-satunya organisasi yang menjadi pilihan
bagi insan perfilman Indonesia untuk memperjuangkan cita-cita seperti
yang pernah disampaikan H.Usmar Ismail,
"Dengan film kita bisa memberikan sumbangan pada revolusi Indonesia.
Sebagai organisasi, PARFI juga diharapkan dapat menjadi wadah, alat
penghimpun dan pemersatu, dan penyaluran daya kreasi serta amal
perjuangan Artis film Indonesia
dalam pengabdiannya kepada bangsa dan negara, khususnya mempertinggi
derajat dan martabat kesenian melalui film nasional." Keberadaan PARFI
dikukuhkan oleh pemerintah sebagai Organisasi Profesi dengan kekuatan
Rekomendasi.
Di bawah PARFI, rasa kebersamaan antar seniman film pun kian kuat
karena perasaan senasib sepenanggungan di antara mereka. Meski demikian,
di awal berdirinya, masih banyak tujuan PARFI yang belum bisa
diwujudkan, salah satunya adalah membersihkan organisasi tersebut dari
kegiatan berpolitik. Seperti yang terjadi di tahun 1964 saat Kongres III
PARFI digelar. Sejumlah anggota cenderung mengikuti aksi PAFFIAS yaitu
gerakan anti film Amerika. Saat itu, secara demonstratif mereka
meninggalkan persidangan. Sehingga, Suryo Sumanto menjadi tumpuan
harapan dari sekitar 300 anggota PARFI. Usai kongres tersebut, Suryo
Sumanto dibantu dua wakilnya yakni Djoko Lelono dan Chaidir Dja'far,
berhasil membebaskan PARFI dari cengkeraman kekuatan politik saat itu.
Selama menjabat sebagai Ketua Umum PARFI hingga periode ke III, Suryo kerap menjadi penasehat pada saat film-film Indonesia
dilanda krisis. Di bawah kepemimpinannya, Parfi bersih dari campur
tangan PKI dan antek-anteknya. PARFI bersama PPFI (Persatuan Perusahaan
Film Indonesia) juga pernah menggelar demontrasi di depan Presiden RI
Pertama (1945-1966)Presiden Soekarno untuk mengatasi serbuan film asing
yang kala itu tengah merebak dan merugikan industri perfilman Tanah
Air. Masa kepemimpinan Suryo Sumanto menjadi tonggak bagi PARFI untuk
memperjuangkan serta mempertinggi derajat dan martabat kesenian melalui
film produksi anak negeri.
Di mata para koleganya, sosok Suryo Sumanto yang semasa hidupnya
dikenal senang berkelakar ini tak sungkan menolong siapa pun yang tengah
dilanda kesulitan terutama mereka yang bergelut di dunia perfilman.
Suryo wafat pada 13 Juli 1971 di usia 53 tahun akibat serangan jantung.
Dengan iringan rekan-rekannya, tokoh yang juga dikenal sebagai Bapak
Artis Film Indonesia ini diantarkan ke peristirahatannya yang terakhir
di TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
“Syamsul Bahri” Hadiri Festival Siti Nurbaya
| |||
|
Djamaludin Malik, Bapak Industri Film Indonesia
Big Boss, begitu panggilan akrab yang disematkan para seniman Senen, kepada raja film Indonesia : Djamaludin Malik. Sapaan ini muncul, lantaran ia kerap membantu para artis dan pemain teater, yang kala itu masih hidup susah. Pada masa setelah kemerdekaan hingga Bung Karno jatuh, seniman -- utamanya para sineas dan pemain film -- tidaklah mendapatkan prioritas oleh pemerintah kita. Hingga tahun 1964, tak ada satupun kementerian yang mengurusi perkembangan industri film tanah air. Oleh karenanya, pada era 1950-an bioskop-bioskop banyak dikuasai oleh film-film asing, terutama produksi Bollywood. Dalam keadaan carut-marut seperti itu, banyak film karya anak negeri yang cukup berkualitas, namun tak laku dipasaran. Akibatnya banyak rumah produksi yang gulung tikar, dan karyawannya di-PHK.
Dari sekian banyak tokoh film Indonesia yang mampu bertahan dari terpaan krisis itu adalah Djamaludin Malik. Ia merupakan pendiri sekaligus pemilik Persari (Perseroan Artis Indonesia). Sebuah perusahaan film yang menampung artis-artis Indonesia pada masa itu. Sebenarnya Djamaludin bukanlah seorang seniman. Namun kecintaannya terhadap sandiwara dan perfilman Indonesia, menyebabkannya mau memodali industri ini.
* * *
Djamaludin Malik lahir di Padang pada tanggal 13 Februari 1917. Ia seorang Minangkabau yang masih memiliki garis keturunan dengan raja Pagaruyung di Tanah Datar. Pada mulanya ia hanyalah seorang pegawai di perusahaan pelayaran Belanda, KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij). Karena kemampuannya dalam memumpuk modal, pada dekade 1940 ia terjun sebagai pengusaha dan mendirikan perusahaan. Djamaludin Malik Concern, begitu nama perusahaan itu, pada mulanya hanya bergerak di bidang perdagangan komoditi. Namun seiring berjalannya waktu, perusahaan ini terus berkembang dan merambah berbagai sektor, antara lain : perdagangan tekstil, kayu, pelayaran, dan kontraktor.
Pada masa revolusi, ia membentuk kelompok sandiwara Bintang Timur. Tak cukup satu, ia kemudian membeli kelompok sandiwara Pancawarna dari Njoo Cheong Seng. Kelompok ini kemudian digunakannya untuk menghibur para pejuang yang sedang menghadapi agresi militer Belanda. Dari Bintang Timur dan Pancawarna inilah kemudian Djamal mendirikan Persari. Pada awal tahun 1950-an hanya ada dua studio film yang dimiliki oleh pribumi. Persari yang didirikan oleh Djamaludin Malik, dan Perfini yang dipimpin oleh Usmar Ismail. Kedua-dua perusahaan film ini dijalankan dengan gaya yang berlainan. Perfini bersikap idealis, dan anti terhadap film-film murahan yang hanya mengandalkan lekuk tubuh serta tari-tarian. Meski menghasilkan film-film bermutu, namun pendapatan Perfini agak memprihatinkan.
Sedangkan Persari dikelola dengan cara modern, layaknya Metro-Goldwyn-Mayer (MGM) di Amerika Serikat. Studio filmnya yang berlokasi di Polonia Jatinegara, berdiri di atas lahan yang sangat luas serta memiliki fasilitas cukup lengkap. Pada masa itu, Djamaludin Malik sebagai direktur utama telah mengendarai Chevrolet, dan bermukim di kawasan Menteng. Sutradara serta artis-artis utamanya juga ia belikan mobil, dan ditalangi untuk membeli rumah di Kebayoran Baru. Luar biasa !! Kala itu bekerja dengan Djamaludin Malik adalah suatu kebanggaan. Jaminan kemakmuran dan ketenaran. Tak hanya karyawan Persari yang kecipratan rejeki darinya. Para seniman Senen-pun kerap ditraktirnya makan hingga puas. Djamal memang dikenal sebagai seorang yang dermawan. Rumahnya di Jalan Cianjur, selalu terbuka 24 jam bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.
Meski suka menyenangkan orang lain, namun kehidupan pribadinya agak berantakan. Ia beberapa kali kawin-cerai. Dan terakhir hidup dengan Elly Yunara, seorang keturunan Maroko. Dari wanita cantik inilah ia dikaruniai empat orang anak : Zainal Malik, Camelia Malik, Yudha Asmara Malik, dan Lailasari Malik. Putri keduanya Camelia Malik yang merupakan artis terkenal, kemudian meneruskan cita-cita ayahnya untuk mengembangkan industri film Indonesia. Ia mendirikan PT. Remaja Ellynda Film, yang telah menghasilkan "Malin Kundang" dan "Jembatan Merah".
* * *
Djamaludin Malik merupakan tokoh yang banyak berjasa bagi perkembangan industri film Indonesia. Ia pertama kali memproduksi film pada tahun 1950, dengan judul "Sedap Malam". Dua tahun kemudian, ia melakukan dengan perusahaan film asal Philipina, untuk memproduksi film berwarna pertama : "Rodrigo de Villa" (1952). Setelah itu dua film berwarna berikutnya kembali ia hasilkan, yakni "Leilana" (1953) dan "Tabu" (1953). Pada tahun 1954, bersama Usmar Ismail ia mendirikan PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia), dan mengajak organisasi tersebut untuk bergabung dengan Federasi Produser Film se-Asia. Hal ini bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat film Indonesia di mata internasional. Jasa Djamaludin terhadap industri film Indonesia tak hanya sampai disitu. Pada tahun 1955, ia mempelopori terselenggaranya Festival Film Indonesia I. Djamal pula yang membiayai seluruh keperluan festival itu.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Djamaludin membentuk serikat seniman Muslim yang dinamai Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia). Dalam lembaga tersebut bergabung pula Usmar Ismail sebagai ketua umum dan Asrul Sani sebagai ketua I. Bergabungnya Usmar Ismail dan Asrul Sani ke dalam organisasi ini, menanggalkan kesan mereka selama ini sebagai anggota PSI (Partai Sosialis Indonesia). Dimana pada masa peralihan 1950-1960-an, semua orang-orang minang intelek diasosiasikan sebagai anggota PSI yang menentang Bung Karno. Lesbumi bertujuan untuk melawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang disokong oleh Partai Komunis Indonesia. Namun sejak tahun 1963, Lekra lebih sering "bentrok" dengan aktivis Manikebu (Manifes Kebudayaan) yang dimotori oleh Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, dan Taufiq Ismail.
Pada tahun 1964, ia memproduksi film "Tauhid". Film ini merupakan proyek kerjasama antara Departemen Agama dan Departemen Penerangan. Saifuddin Zuhri -- waktu itu menteri agama -- menginginkan adanya sinema yang bernafaskan Islam. Jadilah film yang disutradarai oleh Asrul Sani serta dibintangi Aedy Moward dan Ismed M. Noor ini diproduksi. Tak tanggung-tanggung, lokasi syutingnya mengambil tempat di Mekkah. Hal ini memberikan kepuasan tersendiri bagi kru film tersebut, karena bisa sekalian menunaikan ibadah haji.
Hingga tahun 1966, Djamal telah memproduksi sebanyak 59 judul film. Yang terakhir bertajuk "Menyusuri Jejak Berdarah", dan memperoleh penghargaan untuk kategori tata sinematografi terbaik dalam Pekan Apresiasi Film Nasional 1967. Tahun 1969, dia ditunjuk sebagai Ketua Dewan Film Nasional. Posisi itu diembannya hingga ia menghadap sang Khalik. Pada awal 1970, ia menderita penyakit komplikasi. Beberapa lama ia dirawat di RS Fatmawati Jakarta, sebelum akhirnya berobat ke Muenchen, Jerman Barat. Di kota ini, pada tanggal 8 Juni 1970, Djamaludin berpulang ke <em>rahmatullah</em>. Jasadnya kemudian diterbangkan ke Jakarta, dan dikebumikan di pemakaman Karet Bivak. Atas jasa-jasanya, ia dianugerahi gelar Bintang Mahaputra Adipradana II dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Selain itu, namanya juga disandingkan dengan Usmar Ismail, sebagai dwitunggal perfilman Indonesia.
sumber gambar : Cimbuak.net
Dari sekian banyak tokoh film Indonesia yang mampu bertahan dari terpaan krisis itu adalah Djamaludin Malik. Ia merupakan pendiri sekaligus pemilik Persari (Perseroan Artis Indonesia). Sebuah perusahaan film yang menampung artis-artis Indonesia pada masa itu. Sebenarnya Djamaludin bukanlah seorang seniman. Namun kecintaannya terhadap sandiwara dan perfilman Indonesia, menyebabkannya mau memodali industri ini.
* * *
Djamaludin Malik lahir di Padang pada tanggal 13 Februari 1917. Ia seorang Minangkabau yang masih memiliki garis keturunan dengan raja Pagaruyung di Tanah Datar. Pada mulanya ia hanyalah seorang pegawai di perusahaan pelayaran Belanda, KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij). Karena kemampuannya dalam memumpuk modal, pada dekade 1940 ia terjun sebagai pengusaha dan mendirikan perusahaan. Djamaludin Malik Concern, begitu nama perusahaan itu, pada mulanya hanya bergerak di bidang perdagangan komoditi. Namun seiring berjalannya waktu, perusahaan ini terus berkembang dan merambah berbagai sektor, antara lain : perdagangan tekstil, kayu, pelayaran, dan kontraktor.
Pada masa revolusi, ia membentuk kelompok sandiwara Bintang Timur. Tak cukup satu, ia kemudian membeli kelompok sandiwara Pancawarna dari Njoo Cheong Seng. Kelompok ini kemudian digunakannya untuk menghibur para pejuang yang sedang menghadapi agresi militer Belanda. Dari Bintang Timur dan Pancawarna inilah kemudian Djamal mendirikan Persari. Pada awal tahun 1950-an hanya ada dua studio film yang dimiliki oleh pribumi. Persari yang didirikan oleh Djamaludin Malik, dan Perfini yang dipimpin oleh Usmar Ismail. Kedua-dua perusahaan film ini dijalankan dengan gaya yang berlainan. Perfini bersikap idealis, dan anti terhadap film-film murahan yang hanya mengandalkan lekuk tubuh serta tari-tarian. Meski menghasilkan film-film bermutu, namun pendapatan Perfini agak memprihatinkan.
Sedangkan Persari dikelola dengan cara modern, layaknya Metro-Goldwyn-Mayer (MGM) di Amerika Serikat. Studio filmnya yang berlokasi di Polonia Jatinegara, berdiri di atas lahan yang sangat luas serta memiliki fasilitas cukup lengkap. Pada masa itu, Djamaludin Malik sebagai direktur utama telah mengendarai Chevrolet, dan bermukim di kawasan Menteng. Sutradara serta artis-artis utamanya juga ia belikan mobil, dan ditalangi untuk membeli rumah di Kebayoran Baru. Luar biasa !! Kala itu bekerja dengan Djamaludin Malik adalah suatu kebanggaan. Jaminan kemakmuran dan ketenaran. Tak hanya karyawan Persari yang kecipratan rejeki darinya. Para seniman Senen-pun kerap ditraktirnya makan hingga puas. Djamal memang dikenal sebagai seorang yang dermawan. Rumahnya di Jalan Cianjur, selalu terbuka 24 jam bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.
Meski suka menyenangkan orang lain, namun kehidupan pribadinya agak berantakan. Ia beberapa kali kawin-cerai. Dan terakhir hidup dengan Elly Yunara, seorang keturunan Maroko. Dari wanita cantik inilah ia dikaruniai empat orang anak : Zainal Malik, Camelia Malik, Yudha Asmara Malik, dan Lailasari Malik. Putri keduanya Camelia Malik yang merupakan artis terkenal, kemudian meneruskan cita-cita ayahnya untuk mengembangkan industri film Indonesia. Ia mendirikan PT. Remaja Ellynda Film, yang telah menghasilkan "Malin Kundang" dan "Jembatan Merah".
* * *
Djamaludin Malik merupakan tokoh yang banyak berjasa bagi perkembangan industri film Indonesia. Ia pertama kali memproduksi film pada tahun 1950, dengan judul "Sedap Malam". Dua tahun kemudian, ia melakukan dengan perusahaan film asal Philipina, untuk memproduksi film berwarna pertama : "Rodrigo de Villa" (1952). Setelah itu dua film berwarna berikutnya kembali ia hasilkan, yakni "Leilana" (1953) dan "Tabu" (1953). Pada tahun 1954, bersama Usmar Ismail ia mendirikan PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia), dan mengajak organisasi tersebut untuk bergabung dengan Federasi Produser Film se-Asia. Hal ini bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat film Indonesia di mata internasional. Jasa Djamaludin terhadap industri film Indonesia tak hanya sampai disitu. Pada tahun 1955, ia mempelopori terselenggaranya Festival Film Indonesia I. Djamal pula yang membiayai seluruh keperluan festival itu.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Djamaludin membentuk serikat seniman Muslim yang dinamai Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia). Dalam lembaga tersebut bergabung pula Usmar Ismail sebagai ketua umum dan Asrul Sani sebagai ketua I. Bergabungnya Usmar Ismail dan Asrul Sani ke dalam organisasi ini, menanggalkan kesan mereka selama ini sebagai anggota PSI (Partai Sosialis Indonesia). Dimana pada masa peralihan 1950-1960-an, semua orang-orang minang intelek diasosiasikan sebagai anggota PSI yang menentang Bung Karno. Lesbumi bertujuan untuk melawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang disokong oleh Partai Komunis Indonesia. Namun sejak tahun 1963, Lekra lebih sering "bentrok" dengan aktivis Manikebu (Manifes Kebudayaan) yang dimotori oleh Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, dan Taufiq Ismail.
Pada tahun 1964, ia memproduksi film "Tauhid". Film ini merupakan proyek kerjasama antara Departemen Agama dan Departemen Penerangan. Saifuddin Zuhri -- waktu itu menteri agama -- menginginkan adanya sinema yang bernafaskan Islam. Jadilah film yang disutradarai oleh Asrul Sani serta dibintangi Aedy Moward dan Ismed M. Noor ini diproduksi. Tak tanggung-tanggung, lokasi syutingnya mengambil tempat di Mekkah. Hal ini memberikan kepuasan tersendiri bagi kru film tersebut, karena bisa sekalian menunaikan ibadah haji.
Hingga tahun 1966, Djamal telah memproduksi sebanyak 59 judul film. Yang terakhir bertajuk "Menyusuri Jejak Berdarah", dan memperoleh penghargaan untuk kategori tata sinematografi terbaik dalam Pekan Apresiasi Film Nasional 1967. Tahun 1969, dia ditunjuk sebagai Ketua Dewan Film Nasional. Posisi itu diembannya hingga ia menghadap sang Khalik. Pada awal 1970, ia menderita penyakit komplikasi. Beberapa lama ia dirawat di RS Fatmawati Jakarta, sebelum akhirnya berobat ke Muenchen, Jerman Barat. Di kota ini, pada tanggal 8 Juni 1970, Djamaludin berpulang ke <em>rahmatullah</em>. Jasadnya kemudian diterbangkan ke Jakarta, dan dikebumikan di pemakaman Karet Bivak. Atas jasa-jasanya, ia dianugerahi gelar Bintang Mahaputra Adipradana II dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Selain itu, namanya juga disandingkan dengan Usmar Ismail, sebagai dwitunggal perfilman Indonesia.
sumber gambar : Cimbuak.net
PARFI Diharapkan Naungi Artis Film Indonesia
INILAH.COM, Jakarta - Kondisi perfilman di Indonesia tengah bergairah lagi. Pemerintah pun berharap PARFI hidup kembali menaungi artis Indonesia.
"PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia) bagus. Harapan semoga PARFI bisa dapat naungan para artis," ungkap Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Drs. Ukus Kuswara MM, di kantor Depbudpar, Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Jumat (5/8).
Ukus tak mempermasalahkan adanya konflik yang terjadi pada kepengurusan PARFI periode baru pimpinan Gatot Brajamusti, dengan kubu kepengurusan lama yang dipimpin jenny Rachman. Ukus justru berharap PARFI menciptakan pencerahan.
"Jadi tempat artis dapat pencerahan wawasan perlindungan. Kita harapkan PARFI seperti itu," imbuhnya. [aji]
Sumber : INILAH.COM
Aa Gatot Brajamusti Terpilih Sebagai Ketum PB PARFI 2011-2015
Jakarta, CyberNews. Kongres organisasi profesi Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) yang sempat diwarnai kekisruhan, akhirnya berakhir Jumat (19/5) dinihari pukul 03.00 WIB. Dengan melahirkan ketua baru Aa Gatot Brajamusti sebagai Ketua Umum PARFI periode 2011-2015.
Aa Gatot meraih 372 suara, jauh diatas perolehan suara kandidat lainnya, yakni Ki Kusumo sebanyak delapan suara, dan Sultan Saladin 18 suara. Dari sekitar 400-an suara dari anggota PARFI yang memiliki hak suara.
Menurut Thamrin Lubis, sekretaris Panitia Pelaksana Kongres ke-14 PARFI, Jum'at (20/5) siang di Grand Sahid Hotel, terpilihnya Aa Gatot telah melalui proses demoktratis, meski sempat terjadi kericuhan. Dengan terpilihnya Aa Gatot, secara otomatis, dia akan menggantikan ketua umum sebelumnya yang demisioner, Hj Jenny Rachman.
Proses selanjutnya, selama sebulan kedepan Ketua Umum terpilih akan menyusun kabinet dan program.
Insiden Pemukulan
Sebagaimana dikatakan Ketum baru PARFI, dia akan menjadikan organisasi para artis dan pekerja film itu sebagai organisasi yang berwibawa. Serta akan melakukan konsolidasi dengan turun ke daerah-daerah. Ihwal kemenangannya yang dipersoalkan oleh Ki Kusumo yang akan melaporkan ke polisi, Aa Gatot mengaku tidak mengkhawatirkan masalah tersebut.
"Silakan saja, kan ini negeri hukum," katanya.
Sebelumnya, pada puncak kongres memang sempat diwarnai aksi pemukulan dan aksi walkout dan pengunduran diri sejumlah artis senior, saat berlangsung sidang yang diketuai Adisoerya Abdi, Adityawarman, Jatikusumo, Mustapa Kamil, dan Kadir Ole. Meski sebelumnya, telah dimulai proses pemilihan ketua, para calon ketua umum menyampaikan visi dan misi. Disinilah terjadi blunder mengenai tata tertib pemilihan, yang sebelumnya sudah disepakati floor.
Akibatnya terjadi pertentangan antarkubu, sampai muncul insiden pemukulan di arena kongres. Setelah situasi mereda, Ki Kusumo yang membawa pasukan pengamanan khusus, akhirnya mengundurkan diri. Sementara itu ketua PB PARFI demisioner Hj Jenny Rachman sempat didesak untuk mengambil alih kongres oleh sebagian peserta pendukungnya.
Menurut kubu Jenny Rachman, kongres tidak bisa dikendalikan dan dikhawatirkan semakin anarkis. Tapi, pimpinan sidang yang mendapat desakan dari floor tidak memberi kesempatan bagi Jenny Rachman, hingga dia beserta para pendukungnya melakukan aksi walkout.
Sebelum akhirnya kongres dilanjutkan dengan pemilihan langsung dan memenangkan nama Aa Gatot Brajamusti. Menurut Deddy Mizwar kekisruhan dalam sebuah kongres adalah sebuah hal yang wajar, selama proses pemilihannya tetap dapat dilangsungkan secara adil dan demokratis, katanya.
Sumber : Suara Merdeka.com
Ketua PARFI: Jangan Terpancing Film 'Innocence of Muslims'
Ketua Parfi Gatot Brajamusti
JAKARTA, KOMPAS.com -- Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) Aa Gatot Brajamusti mengimbau masyarakat untuk dapat menyikapi dengan akal sehat film Innocence of Muslims yang telah menistakan sosok Nabi Muhammad SAW.
Gatot menilai film tersebut hanyalah upaya adu domba. "Ini (film) yang membuat bukan manusia. Kita marah tapi apakah kemarahan kita tumpahkan ke film, kita pakai akal sehat aja," ujar Gatot dalam wawancara di kantor PARFI, Gedung PPHUI, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (18/9/2012) malam.
Terkait munculnya film tersebut, Gatot mengingatkan agar masyarakat jangan sampai penasaran untuk menontonnya. "Semakin ditonton, semakin naik rating mereka. Kita abaikan saja, semua sudah dipersiapkan mereka dengan berkilah dan berlindung di balik seni. Kalau sadar diri semua umat Islam jangan menonton," seru Gatot.
Menurut Aa Gatot, jangan terjebak menyikapi film itu dengan amarah yang berlebihan hingga terjadi aksi anarkis. Alasannya, itu bagian dari skenario yang mereka inginkan. "Demo seperti itu memang yang diinginkan, di situ mereka yang tak bertanggung jawab turun untuk mengadu domba," kata Gatot.
Sumber : Kompas.com
Sejarah PARFI
Lahirnya Persatuan
Artis Film Indonesia (PARFI) berawal dari kevakuman kegiatan Sarikat Artis
Indonesia (SARI) akibat masuknya Jepang ke Indonesia. Seiring dengan perjalanan
waktu dan menjadi saksi sejarah, pada 10 Maret 1956 PARFI didirikan di Gedung
SBKA Manggarai, Jakarta dengan sekretariat di Jalan, Kramat V Jakarta Pusat,
Ketua Umum PARFI Suryo Sumanto, dengan anggota :
- Rd. Sukarno (Rendra Karno)
- Kotot Sukardi
- Basuki Effendi
- Wildan Dja’far
- Sofia Waldy
- Deliana Surawidjaja
- Idrus Nawawi (Palembang)
- Eddy Saputra (Medan)
- Basuki Zailani (Bandung)
- Ismail Saleh (Semarang)
- Abdul Gafur (Surabaya)
- Subekto (Yogya)
PARFI lahir melalui
semangat untuk menyumbangkan dharma bakti guna mewujudkan cita-cita memajukan
Bangsa dan Negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Secara formal PARFI
diresmikan oleh Ibu Negara Fatmawati Soekarno pada 10 Maret 1956. PARFI adalah
satu-satunya organisasi yang menjadi pilihan bagi Artis film Indonesia untuk
memperjuangkan cita-cita seperti harapan yang disampaikan H. Usmar Ismail:
“Dengan film kita bisa memberikan sumbangan pada
revolusi Indonesia. ”Saat itu, PARFI bersama PPFI berdemontrasi di depan Presiden Soekarno untuk mengatasi serbuan film asing yang merugikan produksi film Indonesia. Sebagai organisasi, PARFI diharapkan dapat menjadi wadah, alat penghimpun dan pemersatu, dan penyaluran daya kreasi serta amal perjuangan Artis Film Indonesia dalam pengabdiannya kepada Bangsa dan Negara, khususnya mempertinggi derajat dan martabat kesenian melalui film nasional.
revolusi Indonesia. ”Saat itu, PARFI bersama PPFI berdemontrasi di depan Presiden Soekarno untuk mengatasi serbuan film asing yang merugikan produksi film Indonesia. Sebagai organisasi, PARFI diharapkan dapat menjadi wadah, alat penghimpun dan pemersatu, dan penyaluran daya kreasi serta amal perjuangan Artis Film Indonesia dalam pengabdiannya kepada Bangsa dan Negara, khususnya mempertinggi derajat dan martabat kesenian melalui film nasional.
Sebagai pekerja seni
bidang keartisan film, keberadaan PARFI dikukuhkan oleh pemerintah sebagai
Organisasi Profesi dengan kekuatan Rekomendasi. Selain mengutamakan cita-cita
guna mencukupi kebutuhan ekonomi, artis film perlu memperoleh kepuasan batin
dari hasil kerjanya dan dijamin hak-hak keprofesiannya yang dilindungioleh
Undang Undang.
Melihat sejarah
perjalanan PARFI, Insan Film terbukti telah memiliki rasa kebersamaan yang kuat
dan itu bisa tercipta karena memiliki perasaan senasib dan rela meninggalkan
kepentingan lain di luar kepentingan Film dan Insannya. Namun, dalam
perjalanannya selama 50 tahun ini, ternyata masih banyak tujuan PARFI sebagai
organisasi, yang belum bisa diwujudkan.
Dalam buku kecil
memperingati 3 (tiga) windu atau 24 tahun berdirinya PARFI (1956-1980),
disebutkan bahwa PARFI bukan partai politik dan tidak ikut berpolitik. Tetapi
dalam perjalanannya, Organisasi Artis Film ini sempat terlibat dan melibatkan
sejumlah anggotanya dalam politik. Hal itu terjadi ketika Kongres III PARFI
dilaksanakan pada 1964. Sejumlah anggota cenderung mengikuti aksi PAFFIAS yaitu
gerakan anti film Amerika. Saat itu, secara demonstratif mereka meninggalkan
persidangan. Sehingga, Suryo Sumanto menjadi tumpuan harapan dari sekitar 300
anggota PARFI.
Usai Kongres PARFI
ke III, Trio pengurus PARFI waktu itu, yakni Suryo Sumanto, Djoko Lelono dan
Chaidir Dja’far, berhasil membebaskan PARFI dari cengkeraman kekuatan politik
saat itu.
Persatuan Artis Film Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Persatuan Artis Film Indonesia didirikan pada awal bulan Maret 1956 dalam kongres yang diadakan para pemain dan pekerja film melakukan kongres pada saat itu. Para tokohnya yang mendirikan pada saat itu adalah Usmar Ismail dan Djamaludin Malik.
Keinginan para artis untuk membentuk organisasi profesi sudah ada sejak tahun 1940, saat dibentuk Sari (Sarikat Artist Indonesia). Mereka yang menjadi anggota Sari adalah pemain sandiwara, penari, sutradara, penyanyi hingga pelukis.
Pada tahun 1951, lahir Persafi (Persatuan Artis Film dan Sandiwara Indonesia). Ini adalah wadah lanjutan dari Sari, meski selanjutnya terjadi pula kemandulan, sebelum kemudian lahirlah Parfi pada tahun 1956. Kongres Pertama embrio Parfi diadakan di Manggari pada tahun 1953.
Ketua Parfi
Langganan:
Postingan (Atom)
About
Persatuan Artis Film Indonesia Sumatera Barat adalah organisasi perkumpulan artis untuk daerah tingkat I Sumatera Barat.Untuk periode 2012-2016 PARFI SUMBAR diketua oleh Salwin Anwar Tiroy yang sebelumnya menjabat sekretaris.