Selamat Datang Di Situs Resmi PARFI SUMBAR (Persatuan Artis Film Indonesia Sumatera Barat)
Home » » Djamaludin Malik, Bapak Industri Film Indonesia

Djamaludin Malik, Bapak Industri Film Indonesia

Written By ParfiSumbar on Kamis, 08 November 2012 | 03.28

ImageBig Boss, begitu panggilan akrab yang disematkan para seniman Senen, kepada raja film Indonesia : Djamaludin Malik. Sapaan ini muncul, lantaran ia kerap membantu para artis dan pemain teater, yang kala itu masih hidup susah. Pada masa setelah kemerdekaan hingga Bung Karno jatuh, seniman -- utamanya para sineas dan pemain film -- tidaklah mendapatkan prioritas oleh pemerintah kita. Hingga tahun 1964, tak ada satupun kementerian yang mengurusi perkembangan industri film tanah air. Oleh karenanya, pada era 1950-an bioskop-bioskop banyak dikuasai oleh film-film asing, terutama produksi Bollywood. Dalam keadaan carut-marut seperti itu, banyak film karya anak negeri yang cukup berkualitas, namun tak laku dipasaran. Akibatnya banyak rumah produksi yang gulung tikar, dan karyawannya di-PHK.
Dari sekian banyak tokoh film Indonesia yang mampu bertahan dari terpaan krisis itu adalah Djamaludin Malik. Ia merupakan pendiri sekaligus pemilik Persari (Perseroan Artis Indonesia). Sebuah perusahaan film yang menampung artis-artis Indonesia pada masa itu. Sebenarnya Djamaludin bukanlah seorang seniman. Namun kecintaannya terhadap sandiwara dan perfilman Indonesia, menyebabkannya mau memodali industri ini.

* * *

Djamaludin Malik lahir di Padang pada tanggal 13 Februari 1917. Ia seorang Minangkabau yang masih memiliki garis keturunan dengan raja Pagaruyung di Tanah Datar. Pada mulanya ia hanyalah seorang pegawai di perusahaan pelayaran Belanda, KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij). Karena kemampuannya dalam memumpuk modal, pada dekade 1940 ia terjun sebagai pengusaha dan mendirikan perusahaan. Djamaludin Malik Concern, begitu nama perusahaan itu, pada mulanya hanya bergerak di bidang perdagangan komoditi. Namun seiring berjalannya waktu, perusahaan ini terus berkembang dan merambah berbagai sektor, antara lain : perdagangan tekstil, kayu, pelayaran, dan kontraktor.

Pada masa revolusi, ia membentuk kelompok sandiwara Bintang Timur. Tak cukup satu, ia kemudian membeli kelompok sandiwara Pancawarna dari Njoo Cheong Seng. Kelompok ini kemudian digunakannya untuk menghibur para pejuang yang sedang menghadapi agresi militer Belanda. Dari Bintang Timur dan Pancawarna inilah kemudian Djamal mendirikan Persari. Pada awal tahun 1950-an hanya ada dua studio film yang dimiliki oleh pribumi. Persari yang didirikan oleh Djamaludin Malik, dan Perfini yang dipimpin oleh Usmar Ismail. Kedua-dua perusahaan film ini dijalankan dengan gaya yang berlainan. Perfini bersikap idealis, dan anti terhadap film-film murahan yang hanya mengandalkan lekuk tubuh serta tari-tarian. Meski menghasilkan film-film bermutu, namun pendapatan Perfini agak memprihatinkan.

Sedangkan Persari dikelola dengan cara modern, layaknya Metro-Goldwyn-Mayer (MGM) di Amerika Serikat. Studio filmnya yang berlokasi di Polonia Jatinegara, berdiri di atas lahan yang sangat luas serta memiliki fasilitas cukup lengkap. Pada masa itu, Djamaludin Malik sebagai direktur utama telah mengendarai Chevrolet, dan bermukim di kawasan Menteng. Sutradara serta artis-artis utamanya juga ia belikan mobil, dan ditalangi untuk membeli rumah di Kebayoran Baru. Luar biasa !! Kala itu bekerja dengan Djamaludin Malik adalah suatu kebanggaan. Jaminan kemakmuran dan ketenaran. Tak hanya karyawan Persari yang kecipratan rejeki darinya. Para seniman Senen-pun kerap ditraktirnya makan hingga puas. Djamal memang dikenal sebagai seorang yang dermawan. Rumahnya di Jalan Cianjur, selalu terbuka 24 jam bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.

Meski suka menyenangkan orang lain, namun kehidupan pribadinya agak berantakan. Ia beberapa kali kawin-cerai. Dan terakhir hidup dengan Elly Yunara, seorang keturunan Maroko. Dari wanita cantik inilah ia dikaruniai empat orang anak : Zainal Malik, Camelia Malik, Yudha Asmara Malik, dan Lailasari Malik. Putri keduanya Camelia Malik yang merupakan artis terkenal, kemudian meneruskan cita-cita ayahnya untuk mengembangkan industri film Indonesia. Ia mendirikan PT. Remaja Ellynda Film, yang telah menghasilkan "Malin Kundang" dan "Jembatan Merah".

* * *

Djamaludin Malik merupakan tokoh yang banyak berjasa bagi perkembangan industri film Indonesia. Ia pertama kali memproduksi film pada tahun 1950, dengan judul "Sedap Malam". Dua tahun kemudian, ia melakukan dengan perusahaan film asal Philipina, untuk memproduksi film berwarna pertama : "Rodrigo de Villa" (1952). Setelah itu dua film berwarna berikutnya kembali ia hasilkan, yakni "Leilana" (1953) dan "Tabu" (1953). Pada tahun 1954, bersama Usmar Ismail ia mendirikan PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia), dan mengajak organisasi tersebut untuk bergabung dengan Federasi Produser Film se-Asia. Hal ini bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat film Indonesia di mata internasional. Jasa Djamaludin terhadap industri film Indonesia tak hanya sampai disitu. Pada tahun 1955, ia mempelopori terselenggaranya Festival Film Indonesia I. Djamal pula yang membiayai seluruh keperluan festival itu.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, Djamaludin membentuk serikat seniman Muslim yang dinamai Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia). Dalam lembaga tersebut bergabung pula Usmar Ismail sebagai ketua umum dan Asrul Sani sebagai ketua I. Bergabungnya Usmar Ismail dan Asrul Sani ke dalam organisasi ini, menanggalkan kesan mereka selama ini sebagai anggota PSI (Partai Sosialis Indonesia). Dimana pada masa peralihan 1950-1960-an, semua orang-orang minang intelek diasosiasikan sebagai anggota PSI yang menentang Bung Karno. Lesbumi bertujuan untuk melawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang disokong oleh Partai Komunis Indonesia. Namun sejak tahun 1963, Lekra lebih sering "bentrok" dengan aktivis Manikebu (Manifes Kebudayaan) yang dimotori oleh Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, dan Taufiq Ismail.
Pada tahun 1964, ia memproduksi film "Tauhid". Film ini merupakan proyek kerjasama antara Departemen Agama dan Departemen Penerangan. Saifuddin Zuhri -- waktu itu menteri agama -- menginginkan adanya sinema yang bernafaskan Islam. Jadilah film yang disutradarai oleh Asrul Sani serta dibintangi Aedy Moward dan Ismed M. Noor ini diproduksi. Tak tanggung-tanggung, lokasi syutingnya mengambil tempat di Mekkah. Hal ini memberikan kepuasan tersendiri bagi kru film tersebut, karena bisa sekalian menunaikan ibadah haji.

Hingga tahun 1966, Djamal telah memproduksi sebanyak 59 judul film. Yang terakhir bertajuk "Menyusuri Jejak Berdarah", dan memperoleh penghargaan untuk kategori tata sinematografi terbaik dalam Pekan Apresiasi Film Nasional 1967. Tahun 1969, dia ditunjuk sebagai Ketua Dewan Film Nasional. Posisi itu diembannya hingga ia menghadap sang Khalik. Pada awal 1970, ia menderita penyakit komplikasi. Beberapa lama ia dirawat di RS Fatmawati Jakarta, sebelum akhirnya berobat ke Muenchen, Jerman Barat. Di kota ini, pada tanggal 8 Juni 1970, Djamaludin berpulang ke <em>rahmatullah</em>. Jasadnya kemudian diterbangkan ke Jakarta, dan dikebumikan di pemakaman Karet Bivak. Atas jasa-jasanya, ia dianugerahi gelar Bintang Mahaputra Adipradana II dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Selain itu, namanya juga disandingkan dengan Usmar Ismail, sebagai dwitunggal perfilman Indonesia.

sumber gambar : Cimbuak.net
Share this article :