Lahirnya Persatuan
Artis Film Indonesia (PARFI) berawal dari kevakuman kegiatan Sarikat Artis
Indonesia (SARI) akibat masuknya Jepang ke Indonesia. Seiring dengan perjalanan
waktu dan menjadi saksi sejarah, pada 10 Maret 1956 PARFI didirikan di Gedung
SBKA Manggarai, Jakarta dengan sekretariat di Jalan, Kramat V Jakarta Pusat,
Ketua Umum PARFI Suryo Sumanto, dengan anggota :
- Rd. Sukarno (Rendra Karno)
- Kotot Sukardi
- Basuki Effendi
- Wildan Dja’far
- Sofia Waldy
- Deliana Surawidjaja
- Idrus Nawawi (Palembang)
- Eddy Saputra (Medan)
- Basuki Zailani (Bandung)
- Ismail Saleh (Semarang)
- Abdul Gafur (Surabaya)
- Subekto (Yogya)
PARFI lahir melalui
semangat untuk menyumbangkan dharma bakti guna mewujudkan cita-cita memajukan
Bangsa dan Negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Secara formal PARFI
diresmikan oleh Ibu Negara Fatmawati Soekarno pada 10 Maret 1956. PARFI adalah
satu-satunya organisasi yang menjadi pilihan bagi Artis film Indonesia untuk
memperjuangkan cita-cita seperti harapan yang disampaikan H. Usmar Ismail:
“Dengan film kita bisa memberikan sumbangan pada
revolusi Indonesia. ”Saat itu, PARFI bersama PPFI berdemontrasi di depan Presiden Soekarno untuk mengatasi serbuan film asing yang merugikan produksi film Indonesia. Sebagai organisasi, PARFI diharapkan dapat menjadi wadah, alat penghimpun dan pemersatu, dan penyaluran daya kreasi serta amal perjuangan Artis Film Indonesia dalam pengabdiannya kepada Bangsa dan Negara, khususnya mempertinggi derajat dan martabat kesenian melalui film nasional.
revolusi Indonesia. ”Saat itu, PARFI bersama PPFI berdemontrasi di depan Presiden Soekarno untuk mengatasi serbuan film asing yang merugikan produksi film Indonesia. Sebagai organisasi, PARFI diharapkan dapat menjadi wadah, alat penghimpun dan pemersatu, dan penyaluran daya kreasi serta amal perjuangan Artis Film Indonesia dalam pengabdiannya kepada Bangsa dan Negara, khususnya mempertinggi derajat dan martabat kesenian melalui film nasional.
Sebagai pekerja seni
bidang keartisan film, keberadaan PARFI dikukuhkan oleh pemerintah sebagai
Organisasi Profesi dengan kekuatan Rekomendasi. Selain mengutamakan cita-cita
guna mencukupi kebutuhan ekonomi, artis film perlu memperoleh kepuasan batin
dari hasil kerjanya dan dijamin hak-hak keprofesiannya yang dilindungioleh
Undang Undang.
Melihat sejarah
perjalanan PARFI, Insan Film terbukti telah memiliki rasa kebersamaan yang kuat
dan itu bisa tercipta karena memiliki perasaan senasib dan rela meninggalkan
kepentingan lain di luar kepentingan Film dan Insannya. Namun, dalam
perjalanannya selama 50 tahun ini, ternyata masih banyak tujuan PARFI sebagai
organisasi, yang belum bisa diwujudkan.
Dalam buku kecil
memperingati 3 (tiga) windu atau 24 tahun berdirinya PARFI (1956-1980),
disebutkan bahwa PARFI bukan partai politik dan tidak ikut berpolitik. Tetapi
dalam perjalanannya, Organisasi Artis Film ini sempat terlibat dan melibatkan
sejumlah anggotanya dalam politik. Hal itu terjadi ketika Kongres III PARFI
dilaksanakan pada 1964. Sejumlah anggota cenderung mengikuti aksi PAFFIAS yaitu
gerakan anti film Amerika. Saat itu, secara demonstratif mereka meninggalkan
persidangan. Sehingga, Suryo Sumanto menjadi tumpuan harapan dari sekitar 300
anggota PARFI.
Usai Kongres PARFI
ke III, Trio pengurus PARFI waktu itu, yakni Suryo Sumanto, Djoko Lelono dan
Chaidir Dja’far, berhasil membebaskan PARFI dari cengkeraman kekuatan politik
saat itu.