Wartawan, seniman, dan sastrawan ini sukses membidani dan mengasuh PARFI, sebuah organisasi profesi keartisan yang masih tetap eksis hingga saat ini. Bersama dua rekannya, Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail, nama Suryo Sumanto termasuk dalam daftar tokoh penting yang meletakkan pondasi perfilman nasional.
Suryo Sumanto lahir di Klaten, Jawa
Tengah, 15 September 1918. Meski hidup di zaman kolonial Belanda, putra
Raden Ngabehi Mangunsuromo ini mendapat kesempatan bekerja sebagai guru
Neutraalschool Delanggu, Verslaggeyex in die Bode di kota kelahirannya.
Selain mengajar, Suryo juga berkecimpung di dunia jurnalistik sebagai wartawan
lepas dengan menggunakan nama samaran Sumantri. Seorang kakak Suryo
bernama SK Trimurti juga dikenal sebagai tokoh pers nasional dan tokoh
politik.
Di sela waktunya yang tersita karena memburu berita, Suryo juga aktif
berorganisasi. Ia pernah menjabat sebagai ketua cabang Klaten serta
menjadi ketua Perda. Selain itu, sejak muda ia giat dalam sejumlah
perkumpulan seni, antara lain menjadi anggota Menteng 31 dan rombongan
seniman Merdeka yang turut aktif berpropaganda untuk mencapai
kemerdekaan.
Di tahun 40-an, setelah kekuasaan atas Indonesia berpindah ke tangan
Jepang, Suryo ditunjuk sebagai pemimpin pertunjukan keliling untuk Pusat
Kebudayaan yang menyajikan film, sandiwara, dan seni tari. Kemampuan
menulisnya mengantarkan Suryo ditempatkan di bagian pers dan propaganda
pada organisasi bentukan pemerintah Jepang, Pusat Tenaga Rakyat
(PUTERA). Suryo juga bertugas di Jawa Hokokai sebagai pembantu umum
latihan kebudayaan Sendenbu.
Pasca proklamasi kemerdekaan, ia kian giat berkiprah di berbagai
lembaga dan organisasi terlebih yang bergerak di bidang jurnalistisk dan
kesenian. Selain pernah tercatat sebagai anggota pimpinan Pers dan
Propaganda Jawatan V serta anggota berani dengan pangkat Kapten pada Ke Menterian
Pertahanan, ia juga pernah memangku jabatan sebagai Ketua Umum Badan
Permusyawaratan Sandiwara Indonesia (Bapersi), anggota redaksi majalah
tentara, Harian Patriot di Presiden RI
(1972-1978)Yogyakarta, anggota redaksi majalah kebudayaan Arena,
pemimpin perkumpulan sandiwara amatir Sekar Hati, anggota sandiwara
Ganesha, anggota direksi Lembaga Kebudayaan, dan wakil ketua seksi film
dan sandiwara.
Pada tahun 1950, Suryo bersama salah satu rekannya,Usmar Ismail
mendirikan Perfini (Persatuan Film Nasional Indonesia). Enam tahun
berselang, tepatnya 10 Maret 1956, berdirilah PARFI (Persatuan Artis film Indonesia)
yang didasari dengan semangat untuk memberikan kontribusi bagi bangsa
guna mewujudkan cita-cita memajukan Negara berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Organisasi tersebut pertama kali
diproklamirkan di Gedung SBKA Manggarai, Jakarta dengan sekretariat di
Jalan, Kramat V, Jakarta Pusat.
Lahirnya PARFI berawal dari vakumnya kegiatan SARI (Sarikat Artis
Indonesia) sejak pemerintah Jepang berkuasa di Indonesia. Kongres
pertama organisasi tempat para artis film bernaung itu akhirnya memilih
Suryo Sumanto sebagai Ketua Umum. Selanjutnya untuk melanjutkan roda
organisasi, Suryo dibantu para anggota yang terdiri dari Rendra Karno,
Kotot Sukardi, Basuki Effendi, Wildan Dja'far, Sofia Waldy, Deliana
Surawidjaja, Idrus Nawawi (Palembang), Eddy Saputra (Medan), Basuki
Zailani (Bandung), Ismail Saleh (Semarang), Abdul Gafur (Surabaya), dan
Subekto (Yogya).
Di masa itu, organisasi profesi keartisan yang diresmikan Ibu Negara Hj. Fatmawati
Soekarno itu merupakan satu-satunya organisasi yang menjadi pilihan
bagi insan perfilman Indonesia untuk memperjuangkan cita-cita seperti
yang pernah disampaikan H.Usmar Ismail,
"Dengan film kita bisa memberikan sumbangan pada revolusi Indonesia.
Sebagai organisasi, PARFI juga diharapkan dapat menjadi wadah, alat
penghimpun dan pemersatu, dan penyaluran daya kreasi serta amal
perjuangan Artis film Indonesia
dalam pengabdiannya kepada bangsa dan negara, khususnya mempertinggi
derajat dan martabat kesenian melalui film nasional." Keberadaan PARFI
dikukuhkan oleh pemerintah sebagai Organisasi Profesi dengan kekuatan
Rekomendasi.
Di bawah PARFI, rasa kebersamaan antar seniman film pun kian kuat
karena perasaan senasib sepenanggungan di antara mereka. Meski demikian,
di awal berdirinya, masih banyak tujuan PARFI yang belum bisa
diwujudkan, salah satunya adalah membersihkan organisasi tersebut dari
kegiatan berpolitik. Seperti yang terjadi di tahun 1964 saat Kongres III
PARFI digelar. Sejumlah anggota cenderung mengikuti aksi PAFFIAS yaitu
gerakan anti film Amerika. Saat itu, secara demonstratif mereka
meninggalkan persidangan. Sehingga, Suryo Sumanto menjadi tumpuan
harapan dari sekitar 300 anggota PARFI. Usai kongres tersebut, Suryo
Sumanto dibantu dua wakilnya yakni Djoko Lelono dan Chaidir Dja'far,
berhasil membebaskan PARFI dari cengkeraman kekuatan politik saat itu.
Selama menjabat sebagai Ketua Umum PARFI hingga periode ke III, Suryo kerap menjadi penasehat pada saat film-film Indonesia
dilanda krisis. Di bawah kepemimpinannya, Parfi bersih dari campur
tangan PKI dan antek-anteknya. PARFI bersama PPFI (Persatuan Perusahaan
Film Indonesia) juga pernah menggelar demontrasi di depan Presiden RI
Pertama (1945-1966)Presiden Soekarno untuk mengatasi serbuan film asing
yang kala itu tengah merebak dan merugikan industri perfilman Tanah
Air. Masa kepemimpinan Suryo Sumanto menjadi tonggak bagi PARFI untuk
memperjuangkan serta mempertinggi derajat dan martabat kesenian melalui
film produksi anak negeri.
Di mata para koleganya, sosok Suryo Sumanto yang semasa hidupnya
dikenal senang berkelakar ini tak sungkan menolong siapa pun yang tengah
dilanda kesulitan terutama mereka yang bergelut di dunia perfilman.
Suryo wafat pada 13 Juli 1971 di usia 53 tahun akibat serangan jantung.
Dengan iringan rekan-rekannya, tokoh yang juga dikenal sebagai Bapak
Artis Film Indonesia ini diantarkan ke peristirahatannya yang terakhir
di TPU Karet Bivak, Tanah Abang, Jakarta Pusat.